Kamis, 19 Desember 2013

Olah Intuisi Epistemologi Persfektif Agama

Nama                  :    Halim Usman
No. Pokok          :    P3400213026
Prog. Studi         :    Magister Akuntansi
Kelas                   :    Reguler B
Tugas                  :    Filsafat Ilmu “Olah Intuisi Epistemologi Perspektif Agama”

Hari berganti hari, malam pun kian berganti. Tak terasa kalender telah memperlihatkan bahwa hari ini adalah tanggal 6 Desember 2013, yang bertepatan dengan hari Jum’at. Tak terasa waktuku untuk mengolah intuisi guna mengetahui epistemologi dalam persfektif agama kian dekat. Meski beberapa malam kemarin saya selalu mencoba untuk mengolah intuisi saya, namun selalu gagal. Setiap malam pun aku terbangun melaksanakan Shalat Lail, seperti yang biasanya saya lakukan. Namun, belakangan ini hanya melaksanakannya sendiri tanpa ditemani oleh istri, karena kasian melihat kondisinya yang “hamil tua”. Usai melaksanakan shalat lail, akupun berusaha mengolah intuisiku namun masih saja gagal, mungkin karena pikiran yang begitu menumpuk dalam otakku. Mulai memikirkan pekerjaanku, orangtuaku, hingga memikirkan istriku yang tak lama lagi akan melahirkan anak pertama kami.
Usai melaksanakan Shalat Jum’at, aku pun berbaring dengan harapan dapat menemukan guru spiritualku dalam mimpi. Namun masih saja gagal, entah mengapa aku sulit menemukan guru spiritualku pekan ini, tak seperti pekan sebelumnya.
Malam pun mulai “menampakkan dirinya”, hingga jam menunjukkan pukul 20.07 Wita, aku bergegas berangkat ke perwakilan bus untuk melanjutkan perjalan ke Kota Palopo, guna memenuhi kewajibanku pada institusi tempat aku bekerja. Kali ini tak ditemani oleh istri yang setiap aku pulang ke Kota Palopo selalu bersama.
Sesaat sopir bus itu menyalakan mobilnya, aku pun naik ke bus dan siap-siap mengolah intuisi. Lagi-lagi gagal, padahal penumpang lain belum naik ke bus, hanya ada saya di bus itu. Sekitar dua jam kemudian bus yang aku tumpangi ternyata sudah berada di Kota Maros. Akhirnya aku sadar bahwa saya sesaat telah tertidur. Aku melihat sekeliling ternyata bus yang aku tumpangi agak sepi dari penumpang, hanya aku yang berada di urutan belakang. Aku sejenak berpikir, sepertinya aku lebih baik mengolah intuisi di bus ini. Headphone mulai aku ambil dari tas, dan kusambungkan di telpon genggamku sembari memutar musik instrumen Yanni-Implora.
Sama seperti yang diajarkan dosenku (Pak Syarifuddin), aku pun mulai menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya lewat mulut, jari kaki, jari tangan, dada serta kepala dengan berurutan untuk merasa santai.
Usai melakoni itu, tiba-tiba seseorang dengan wajahnya yang bersinar, terasa lampu di bus itu tak dimatikan akibat pancaran sinar wajahnya. Terang sekali... Akupun menoleh kepadanya, sembari tersenyum dan berkata :
“Aku berusaha mencarimu beberapa hari ini, tapi tak mudah menemukanmu. Kemanakah kamu...”
Kemudian diapun menjawab perkataanku :
“Aku selalu berada dekat denganmu, namun urusan duniamu begitu pelik, permasalahn begitu menumpuk dipikiranmu, sehingga kamu sulit membuat dirimu melepaskan permasalahan dunia dan menemukanku”
Setelah itu, kembali aku menjawab apa yang dikatakan kepadaku :
“Benar, ada banyak hal yang saat ini aku pikirkan, dan terasa sulit sekali membuat diri ini sejenak bersantai”
Intuisiku pun tersenyum kepadaku, seakan menampakkan rasa ibanya kepadaku. Aku kembali bertanya kepadanya :
“Bagaimanakah Epistemologi dalam Perspektif Agama..??”
Intuisiku tersenyum, dan kemudian dia berkata :
“Islam telah memerintahkan kita untuk selalu menuntut ilmu. Bukankah ayat yang pertama diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW telah memerintahkan kita untuk selalu mencari ilmu pengethuan”
Kemudian intuisiku pun membacakan ayat tersebut yang artinya :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”
Kemudian lanjut intuisiku berkata :
“Pertemuan sebelumnya, aku telah mengungkapkan Bayani, Burhni dan Irfani yang kesemua itu cara untuk kita mendapatkan ilmu pengetahuan dalam agama islam”
Belum puas bertanya kepada intuisiku, tiba-tiba aku terbangun karena dibangunkan oleh kernek mobil bus yang aku tumpangi dan bertanya “Turun dimana Pak”

Dari perkataan intuisiku, aku menyimpulkan bahwa ternyata dalam agama islam, agama yang aku anut menuntut ilmu dan menemukan pengetahuan memang wajib adanya, dan dapat diperoleh melalui tiga metode yakni metode Bayani, Burhni dan Irfani meski tidak dapat dipisahkan dengan metode dunia barat dalam menemukan ilmu pengetahuan.

Perbedaan Epistemologi Barat dan Timur

Nama                  :    Halim Usman
No. Pokok          :    P3400213026
Prog. Studi         :    Magister Akuntansi
Kelas                   :    Reguler B
Tugas                  :    Filsafat Ilmu “Ringkasan Perbedaan Epistemologi Barat dan Timur”

Sejarah epistemologi (sejarah pengetahuan tentang manusia), memiliki ciri yang sangat spesifik. Penelitan-penelitian yang mendalam mengenai hal ini menunjukkan bahwa cri sejarah epistemologi lebih merupakan sebuahn khazanah pergolakan pemikiran daripada sekedar sebuah kronologi. Pergolakan pemikiran-pemikiran tersebut sekaligus menandai adanya pergolakan-pergolakan kultural yang sangat mendasar di dalamnya. Sejarah epistemologi dengan demikian dapat dipahami sebagai sebuah rangkaian perjuangan yang selalu menampakkan diri secara aktual dalam rangka merealisasikan hakikat diri dan kehidupan manusia.
Diakui bahwa sejarah perkembangan epistemologi di satu sisi telah menghasilkan transformasi kultural yang sangat menentukan citra kehidupan manusia dan kebudayaannya. Namun demikia, di sisi lain sejarah ini terus mencemaskan kehidupan manusia termasuk para ilmuwan setiap periode sejarah sampai saat ini. Citra kultural yang telah dibuat sebelumnya direkam, direvisi, dikembangkan, dan bahkan diubah oleh pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh generasi berikutnya dikemudian hari. Pergolakan dan transformasi kultural yang terjadi dalam perkembangan epistemologi ini sekaligus mendesak, mendorong, mengubah, serta memperbaharui sejarah kehidupn manusia secara terus menerus, sehingga terjadilah perkembangan dan bahkan pergolakan-pergolakan pada berbagai bidang, seperti dalam sistem poliik, ekonomi, religi, bahasa, kesenian serta tekhnologi.
Penelitian terhadap sejarah perkembangan epistemologi selanjutnya memperlihatkan juga bahwa sejarah tersebut bukan hanya terkait dengan masalah konsep, tetapi sejarah sebagai sebuah lakon aktual. Tegasnya, sejarah perkembangan epistemologi adalah sebuah problem dan sekaligus cita-cita kultural yang tetap aktual. Pergolakan-pergolakan dan transformasi kultural tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan manusia yang menjadi pokok utama dalam sejarah epistemologi ini memiliki sifat dan daya perkembangan yang sangat menonjol.
Thomas S. Kuhn (1993) menggambarkan bahwa sejarah perkembangan epistemologi telah berlangsung sebagai suatu proses yang bersifat revolusioner dari sekedar sebuah evolusi. Menrutnya, revolusi pengetahuan menghadirkan perubahan-perubahan dan pertentangan atau kontroversi-kontroversi yang hampir selalu menyertainya. Perubahan dan pertentangan-pertentangan tersebut merupakan sebuah daya atau kekuatan yang menggerakkan jalannya sejarah dunia dan sejarah manusia. Sejarah perkembangan epistemologi telah menjadi pokok kekuatan yang menggerakkan lahirnya perkembangan kebudayaan modern. Epistemologi (pengetahuan tentang pengetahuan)-lah yang lebih mendesak lahirnya Renaisans, Humanisme dan Pencerahan. Epistemologi membuat manusia dapat membentuk sejarah, namun dalam epistemologi itu pula manusia bertanya tentang arah, makna dan tujuan sejarahnya. Sudah tentu perkembangan pengetahuan membawa serta benturan-benturan yang luas antar berbagai aliran epistemologi yang terus melanda jalannya sejarah manusia hingga saat ini. Sejarah perkembangan epistemologi ternyata telah pula memacu terjadinya proses pluralitas, pembaruan dan kesadaran akan keterjalinan dari berbagai aliran epistemologi tersebut.
Martin Heidegger menggambarkan problem teknologi sebagai sesutu yang semulanya dirancang manusia sebagai sarana, tetapi dalam kenyataannya sudah tidak dikuasai lagi (Bartens, 1983). Tekhnologi telah menjadi semacam sikap moral yang telah merajalela dan menguasai umat manusia. Sejarah epistemologi pun akhirnya secara spesifik meredusir diri menjadi alat (instrument) kekuatan untuk kperluan industrial demi mengejar nilai ekonomis dan teknologis, atau untuk pembenaran kekuasaan. Pengetahuan hanya dapat disebut sebagai pengetahuan sejauh ia dapat diterapkan.
Manusia adalah makhluk yang lebih sadar akan luasnya pilihan yang dihadapinya. Kesadaran inilah yang menghadapkan manusia kepada tanggung jawabnya yang sifatnya fundamental, majemuk, menyeluruh dan tak terbatas. Tanggung jawab kultural dalam sejarah pengembangan epistemologi seyogianya mengemban aspek kesadaran akan kebebasan dan pilihan-pilihan kemanusiaan. Tanggung jawab kultural ini penting dalam menghadapi berbagai determinasi pengetahuan yang bersifat sektoral. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa sejarah epistemologi dan sejarah kebudayaan manusia memiliki hubungan dialektik yang sangat mendasar.
Sejarah epistemologi yang pebuh dengan pergolakan kultural sebagaimana diuraikan di atas sekaligus menuntun untuk secara terperinci pengkajian dan pemahaman akan citra sejarah perkembangan epistemologi yang meliputi dunia Timur dan Barat. Mengenai hal ini, Harry Hamersma (1990) menjelaskan bahwa sejarah filsafat biasanya membedakan tiga tradisi besar dalam pengembangan epistemologi, baik di Timur maupun di Barat. Ketiga tradisi itu adalah Filsafat India, Filsafat Cina dan Filsafat Barat. Menrutnya, antara ketiga tradisi ini terdapat hal-hal yang sifanya paralel. Secara khusus ia menunjukkan bahwa kesamaan ini teristimewa banyak dijumpai dalam tradisi filsafat India dan Barat. Inti kesamaan yang sangat menonjol adalah bahwa baik tradisi Filsafat Cina dan khususnya Filsafat India maupun Barat sama-sama memperlihatkan adanya kehidupan intelektual yang berkmbang. Hal ini ditunjukkan dengan cara melepaskan diri dari corak berpikir mistis. Perkembangan ini telah dimulai sejak periode antara tahun 800 SM sampai 200 M.
Hamersma juga menunjukka bahwa periode inilah hidup Konfusius dan Lao Tse di Cina. Sementara di India sudah terdapat para pemikir seperti penyusun-penyusun Upanishad dan Buddha Gautama. Dunia Barat pada Zaman yang sama menampilkan para pemikir seperti Thales, Pythagoras, Parmenides, Herakleitos, Sokrates, Plato serta Aristoteles di Yunani atau koloni-koloni Yunani. Zaman ini telah mencatat pula adanya pengaruh dari tradisi pemikiran para Zoroaster di Persia, dan Nabi-Bani besar di Israel. Semua kekuatan berfikir itu telah meletakkan dasar-dasar pemikiran yang begitu kuat dan mendasar dalam tradsi kebudayaan masing-masing.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa epistemologi Barat dan Timur memiliki ciri-ciri khusus yang membuatnya berbeda, perbedaan tersebut yakni :
1.             Peran akal budi dan rasio
Epistemologi barat mendekati mendekati realitas dengan suatu metode pengetahuan yang berdasarkan akal budi, sistem penelitian, analisis kritis, serta berusaha menemukan hubungan-hubungan yang dapat diterima secara rasional dari gejala-gejala yang ada. Epistemologi barat menggunakan argumentasi dan penalaran yang teratus dengan senjata pikiran dan logika. Akal budi merupakan “mahkota” manusia. Setiap kenyataan dapat dikategorikan dan dimengerti secara jelas lewat akal budi, kalau tidak demikian maka jelas-jelas bahwa eksistensinya harus diragukan. Sementara epistemologi timur, banyak disampaikan sebagai bentuk ungkapan dari dan perasaan (intuisi). Para pemikir timur lebih menyukai intuisi daripaa akal budi. Bagi mereka, pusat kepribadian seseorang bukanlah inteleknya tetapi pada hatinya yang mempersatukan akan budi dan intuisi, inteligensi dan perasaan. Para pemikir timur lebih menghayati hidup dlam keseluruhan adanya, dan bukan hanya dengan otak saja.
Menurut para pemikir timur, hati mempunyai perimbangannya sendiri yang tak dapat diketahui akal budi sebab berada di luar pendekatan rasional. Pemikir timur lebih merasa betah dengan dunia tempat ia mereguk secara langsung sumber hidupnya, tanpa berputar-putar dengan rasionya yang sempit. Akibatnya mereka sangsi akan kemampuan kata-kata. Menurut mereka, ada hal-hal yang dapat dibicarakan, tetapi ada hal-hal yang hanya dapat dihargai dengan hati.
2.             Peran abstraksi dan simbol konkret
Para filsuf barat mempunyai suatu sistem, suatu umusan abstrak  dalam epistemologi yang merangkum seluruh alam semesta. Mereka akan marah atau kecewa jika hidup atau sejarah tidak cocok dengan definisi atau kesimpulan yang telah mereka tetapkan dengan analisis rasionya. Sementra pemikir timur lebih menyukai ungkapan yang konkret dan simbolisasi untuk ungkapkan ide universal dan masalah-masalah abstrak.
3.             Peran ilmu dan kebijaksanaan
Para pemikir barat lebih memusatkan perhatiannya pada kemampuan akal budi dalam menganalisis empiris. Data kemudian dirumuskan dalam bahasa yang efisien dan efektif. Sementara para pemikir timur lebih meletakkan tujuan pengetahuannya pada kebijaksanaan hidup. Menurut mereka, pengetahuan intelektual saja tidak mampu membuat seseorang menghayati hidupnya lebih baik. Akibat logisnya bahwa di Timur kurang ada spesialisasi pengetahuan seperti di Barat.


Sumber : Qomar Mujamil, Prof. Dr, M.Ag, 2005, Epistemologi Pendidikan Islan dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, Erlangga, Jakarta

Peran Paradigma dalam Revolusi Sains : Thomas S. Kuhn

A. Proses dan Sains yang normal
Sains yang normal adalah riset yang tegas berdasar atas satu atau lebih pencapaian ilmiah yang lalu, yang oleh masyarakat ilmiah pada suatu saat kemudian dinyatakan sebagai rujukan. Atau menjelaskan secara detail teori yang diterima, menerangkan banyak atau seluruh penerapannya yang berhasil dan membandingkan dengan eksprimen dan observasi langsung. Pencapaian yang memiliki dua karakteristik disebut paradigma yang erat kaitannya dengan sains yang normal yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan, dan istrumentasi yang akan menjadikan model-model, dari itu lahirlah tradisi-tradisi tertentu dari riset ilmiah. Paradigma-paradigma yang jauh terspesialisasi sebagai ilustrasi, yang menstimulus untuk dipraktekkan dikemudian hari. Komitmen serta konsensus yang jelas serta yang dihasilkan merupakan prasyarat bagi sains yang normal, yaitu bagi penciptaan tradisi riset.
Pencapaian ilmiah yang kongkrit sebagai tempat komitmen profesional dari konsep, dalil, teori, dan acuan yang sangat vital. Dalam arti paradigma atau dialektika merupakan kesatuan fundamental dalam perkembangan sains, yang logisnya menjadi komponen-komponen atom yang berfungsi sebagai pengganti. Perolehan paradigma atau tipe riset yang langka sebagai indikator kematangan dalam perkembangan sains.
Yang menjadi ciri-ciri pada tahap awal perkembangan sains adalah terciptanya alira-aliran baru. Tidak ada sejarah yang bisa diinterpretasi tampa adanya kumpulan teoritis dan metodologis yang saling berkolerasi lengkap yang harus adanya pemilihan, penilaian dan kritik. Karena jika kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan faktanya, maka harus dipasok dari luar oleh metafisika atau oleh sains yang lain serta oleh kejadian yang personal dan historis. Tidak mengherankan lagi, pada tahap-tahap awal perkembangan sains manapun dalam persepsi berbeda deretan masalah yang sama atau melukiskan dan menafsirkan gejala-gejala itu dengan cara yang berbeda, akan tetapi, perbedaan itu lambat laun akan semakin menghilang. Hilangnya perbedaan itu bisanya diawali dengan kemenangan salah satu aliran pra padigma, karena karesteristik kepercayaan dan persepsinya sendiri masih belum berubah informasi dan dalilnya yang relatif lemah. Agar dapat diterima sebagai paradigma sebuah teori harus lebih baik daripada saingannya, tetapi tidak perlu menerangkan semua fakta pada saingannya.
Agar paradigma itu dapat di terima oleh semua elemen dan melakukan pekerjaan itu lebih efektif harus ada semacam debat (sharing) dan juga memperjelas kepada para ilmuwan yang lain agar bisa yakin mereka berada di jalan yang benar-benar memotivasi para ilmuwan suatu pekerjaan yang lebih tepat dan belum banyak memahami hal tersebut serta lebih menonjol. Sehingga para ilmuwan dapat menyelidiki gejala yang lebih rinci dan menggunakannya lebih tekun, sistematis dan logis daripada yang dilakukan ilmuwan yang lain. Baik menyangkut pengumpulan fakta maupun pengutaraan teori agar lebih terarah (spektakuler), seperti yang di utarakan oleh Francis Bacon “kebenaran lebih mudah muncul dari kesalahan ketimbang dari kekacauan”. Dan jika dalam perkembangan sains ke-alam-an seseorang atau kelompok mampu mengaplikasikan dari pempraktek generasi selanjutnya, maka secara berangsur-angsur aliran lama akan lenyap dengan sendirinya. Hilangnya alirang-aliran itu sebagian di sebabkan pembelotan anggotanya kepada paradigma yang baru. Walaupun pasti ada yang masih menganut pada salah satu pandangan yang lebih lama ini. Paradigma baru akan menyiratkan hal yang baru pula dan lebih kaku di bidangnya, mereka cenderung tetap; bidang filsafat akan melahirkan sain-sain khusus. Terkadang kesediaan menerima dan mentransformasikan kelompok yang awalnya hanya tertarik kepada studi alam kemudian menjadi profesi atau disiplin. Hal ini, berbeda dengan bidang-bidang yang lain seperti teknologi, hukum atau bidang yang lainnya. Karena yang menjadi prioritas yang utama berskala spesialisasi, pendirian masyarakat spesialis dan menuntut spesialisasi kurikulum seperti misalnya sebuah paradigma oleh kelompok. Ketika ilmuan percaya begitu saja tentang sebuah paradigma, ia tidak perlu lagi membangun kembali di bidangnya itu, hanya tetap dalam prinsip-prinsip pertama dan memperkuat setiap konsepyang diperkenalkan pertama kali. Ilmuan yang kreatif akan memulai risetnya di bagian atau yang ada dalam buku itu sehingga dapat memfokuskan pada aspek alami yang transparan dan isoterik, komunike risetnya akan mulai berubah dengan cara evolusinya, tetapi prodak akhir modernnya menjadi realitas di masyarakat serta menyesalkan bagi semua orang. Sebaliknya, mereka hanya akan memberikan artikel-artikenya kepada rekan profesionalnya, orang yang mengerti dan paham tentang paradigma dan dapat terbukti dengan mempresentasikan dan mempertanggungjawabkan isi artikel-artikel tersebut. Sebagai wahana komunikasi, risetlah garis-garis profesionalisasi kelonggaran sehingga orang awam dapat mengikuti kemajuan dengan belajar, membaca, memahami dan mengaplikasikannya.
Paradigma adalah model atau pola yang di terima dan aspek namanya telah memungkinkan pengambilan paradigma itu tidak semua benar dengan pengertian yang biusa digunakan untuk mendevinisikan paradigma. Dalam penerapan yang baku, paradigma berfungsi memperbolehkan replikasi contoh yang masing-masing pada prinsipnya dapat di ganti. Disisi lain, sebuah sains paradigma menjadi objek replikasi. Akan tetapi, keputusan yudikatif yang terima dalam hukum tak tertulis menjadi objek bagi pengutaraan dan rincian lebih lanjut dalam keadaan yang baru atau lebih radikal. Sains yang normal terdiri atas perwujudan janji yang dicapai dengan memperluas pengetahuan dengan fakta-fakta yang oleh paradigma ditalarkan sebagai pembuka pikiran dengan mencocokkan fakta-fakta dengan prakiraan paradigma dengan artikulasi lebih lanjut tentang paradigma itu sendiri.
Ada tiga fokus yang normal bagi penyelidikan faktual, ketiganya itu tidak selamanya jelas. Yang pertama adalah kelas fakta-fakta yang telah diperlihatkan oleh paradigma yang akan menyingkap sifat sesuat. Paradigma ini sangat bermanfaat untuk menetapkan kecermatan yang lebih tinggi maupuan dalam situasi yang variatif. Kelas kedua, biasa tetapi lebih kecil dari penetapan-penetapan fakta walaupun cenderung tampak kepentingan yang hakiki namun dapat di bandingkan secara langsung dengan paradigma.
Dan kelas ketiga, adalah menyerap seluruh kegiatan pengumpulan data sains yang normal. Kelas ini meliputi empiris yang dilaksanakan untuk mengartikulasikan teori paradigma untuk memecah- menyelesaikan ambiguitas yang masih belum terselesaikan. Upaya-upaya mengartikulasikan paradigma bagaimanapun tidak dibatasi dengan determinasi konstanta universal. Suatu paradigma merupakan parasyarat bagi bagi penemuan-penemuan hukum.
Adapun ciri-ciri yang paling menonjol dari masalah riset yang normal betapa sedikitnya masalah yang di tujukan untuk menghasilkan penemuan baru yang besar dan konseptual. Eksprimen ditujukan untuk mengartikulasikan suatu paradigma dan juga bisa menyerupai ekplorasi terutama sering di gunakan dalam periode-periode dan dalam sains yang lebih cenderung berurusan dengan aspek kualitatif daripada kuantitatif dari regularitas alam. Sering suatu paradigma yang dikembangkan bagi satu perangkat gejala ambigus dalam penerapannya dengan yang lain yang sangat erat kaitannya. Kemudian eksprimen-eksprimen itu perlu memilih diantara cara-cara alternatif menerapkan paradigma pada bidang perhatian yang lainnya. Tujuan prakiraan itu ialah untuk memperhatikan penerapan baru dari paradigma atau untuk meningkatkan ketepatan suatu penerapan yang di buat.
Target sains yang normal hanya hal-hal yang baru yang besar dan nyata – jika kegagalan mendekati hasil yang di antisipasi itu merupakan kegagalan sebagai ilmuwan. Semestinya para ilmuwan, hasil-hasil yan di peroleh dalam riset yang normal itu signifikan karena merupakan tambahan bagi ruang lingkup dan presisi yang dapat di terapkan oleh paradigma. Mengantarkan masalah riset yang normal kepada kesimpulan adalah mencapai apa yang di ntisipasi dengan cara baru dan juga memerlukan pemecahan segala jenis teka-teki instrumental, konseptual dan matematis. Orang yang berhasil membuktikannya adalah seorang pakar pemecah teka-teki dan tantangan itu merupakan bagian yang vital. Tekateki adalah kategori khusus dari masalah-masalah yang digunakan untuk menguji keliahaian atau skill dalam pemecahannya. Karakteristik-karakteristik oleh tekateki dalam masalah sains normal perlu adanya klasifikasi dan spesialisasi dengan yang lain, yang di dapatkan oleh masyarakat ilmiah.
Paradigma ialah kreteria untuk memilih masalah-masalah yang di anggap sudah wajar dan memiliki alternatif. Masalah yang lain masih banyak yang sebelumnya menjadi standart di tolak, karena di anggap masuk dalam metafisika, masuk kepada disiplin yang lain atau terkadang terlalu rumit sehingga hasilnya tidak memadai pada alokasi waktu yang di gunakan. Masalah dalam suatu Paradigma bahkan dapat menyekat masyarakat tersebut dari yang esensial, aspek sosial yang tidak di bentuk tekateki karena tidak dapat di gunakan sebagai alat konseptual dan instrumental yang di sediakan oleh Paradigma tersebut. Salah satu alasan sains yang normal tampak maju begitu pesat seperti para pempraktik memfokuskan perhatian mereka kepada masalah yang tidak dapat di pecahkan karena minimnya pengetahuan dan kecerdasan.
Masalah-masalah sains yang normal merupakan teka-teki dalam pengertian.seseorang dapat tertarik pada sains karena hasrat untuk berguna untuk mengeksplorasi wilayah baru, harapan untuk menemukan tatanan dan dorongan untuk menguji pengetahuan yang mapan, motif-motif ini disertai juga untuk membantu mengatasi masalah-masalah tertentu yang artinya akan menyibukkan aktifitas mereka. Individu yang terlibat dalam riset yang normal tidak pernah menggerjakan yang manapun dari hal diatas. Yang kemudian menentang keyakinan bahwa ia pun cukup terampil dalam memecahkan tekateki yang belum di pecahkan oleh siapa pun. Diantara para tokoh yang besar banyak yang telah mencurahkan seluruh perhatian profesionalnya pada tekateki yang menentangnya. Setiap bidang spesialisasi tidak menyajikan yang lain untuk dikerjakan, suatu kenyataan yang membuatnya optimis dari pada jenis kecanduan yang pantas. Kesejajaran antara teka-teki dan masalah sains yang normal akan di klasifikasikan sebagai pemecahkannya.juga kaidah-kaidah yang membatasi sifat pemecahan yang dapat diterima maupun langkah-langkah untuk memperolehnya.
B. Keunggulan Paradigma
Untuk menemukan hubungan antara kaidah, paradigma dan sains yang normal perlu di perhatikan terlebih dahulu bagaimana histori yang mengisolasi tempat-tempat tertentu dari komitmen yang baru di jadikan kaidah-kaidah yang di terima. Penyelidikan historis yang cermat terhadap suatu spesialitaspada masa tertentu menyingkapkan seperangkat keterangan yang berulang-ulang yang di kuasai standart tentang berbagai teori dalam penerapan konseptual, observasional dan instrumental. Tentu saja selain itu, sejarawan akan menemukan daerah penumbrah yang ditempati pencapaian-pencapaian yang statusnya masih di ragukan. Meskipun kadang-kadang terdapat ambiguitas Paradigma-Paradigma masyarakat sains yang matang dapat di tentukan dengan relatif mudah.
Tujuan laporan-laporan riset untuk menemukan unsur-unsur yang dapat di isolasi secara gamblang atau tersirat yang oleh masyarakat kemungkinan di ringkas dari paradigma yang lebih global dan di gunakan sebagai kaidah-kaidah dalam riset. Mencari kaidah-kaidah lebih sukar ketimbang mencari paradigma, diantara generalisasi yang di gunakan untuk melukiskan kepercayaan bersama dari masyarakat itu akan menimbulkan masalah. Namun yang lainnya, termasuk yang digunakan sebagai ilustrasi akan tampak begitu kuat. Dan jika perpaduan tradisi riset di pahami sebagai aspek kaidah-kaidah, harus ada rincian-rincian tentang dasar bersama dalam bidan yang sesuai. Akibatnya, kumpulan pencarian kaidah yang berwenang membentuk tradisi riset normal tertentu menjadi sumber frustasi yan radik dan berkesinambungan.
Para ilmuwan sepakat bahwa para tokoh-tokoh terdahulu (seperti Newton, dll red) telah menghasilkan pemecahan yang tampaknya permanen bagi sekelompok masalah penting. Namun kadang-kadang tanpa menyadarinya karakteristik-karakteristik abstrak tertentu yang menjadikan pemecahan itu permanen. Artinya, mereka sepakat dalam identifikasi mereka tentang paradigma tanpa sepakat dalam bahkan berupaya menghasilkan intepretasi dan rasionalisasi yang bulat tentang paradigma. Riset yang normal dapat di tentukan sebagian oleh pemeriksaan langsung terhadap suatu paradigma. Dan suatu proses sering di bantu tetapi tidak bergantung pada perumusan kaidah-kaidah asumsi. Suatu jenis yang sama dapat berlaku dalam berbagai teknik dan masalah riset yang timbul dalam tradisi sains yang normal. Apa yang menjadi kesamaan diantara mereka bukanlah menjadi hal yang dapat memenuhi suatu perangkat kaidah dan asumsi yang jelas atau bahkan yang dapat di temukan seluruhnya, yaitu perangkat yang memberi karakter kepada tradisi yang menyebabkan suatu tradisi mempunyai tempat dalam pikiran ilmiah. Akan tetapi mereka bisa mempunyai pertalian karena kesamaan dan menjadi model bagi salah satu bagian dari sekelompok sains yang oleh masyarakat telah diakui sebagai pencapaian-pencapaiannya yang telah mantap. Paradigma-paradigma dapat menentukan sains yang normal tanpa adanya campur tangan kaidah-kaidah yang di temukan.
C. Anomali dan Munculnya Penemuan Sains
Penemuan-penemuan bukanlah peristiwa asing, melainkan epesode yang di perluas dengan struktur yang terluang secara teratur. Penemuan di awali dengan kesadaran akan anomali (kelainan dari fenomena), yakni dengan pengakuan bahwa alam dengan suatu cara telah melanggar pengharapan yang di dorong oleh paradigma yang menguasai sains yang normal yang kemudian dengan eksplorasi yang di perluas pada wilayah anomali dan akan berakhir jika teori paradigma telah di sesuaikan. Pengasimilasian suatu fakta jenis baru menuntut pada penyesuaian tambahan teori yang juga erat sekali hubungannya antara faktual dengan teoritis dalam penemuan ilmiah.
D. Krisis, munculnya Teori Sains dan Tanggapan
Setelah menemukan argumentasi bahwa dalam sains itu fakta dan teori, penemuan dan penciptaan tidak berbeda menurut kategori serta secara permanen dapat diantisipasi adanya lingkup. Kesadaran akan anomali memainkan peran dalam munculnya jenis-jenis gejala yang baru, maka tidak akan mengejutkan bahwa kesadaran yang serupa, tetapi lebih mendalam. Merupakan prasyarat bagi semua perubahan teori yang dapat diterima.
Sesudah mencapai status paradigma, teori sains hanya di nyatakan tidak sahih jika ada calon alternatif untuk menggantikannya. Namun, tidak ada proses yang telah di singkapkan oleh study historis tentang perkembangan sains yang mirip dengan steriotipe pemalsual yang metodologis dengan perbandingan lansung dengan alam. Tindakan mempertimbangkan yang mengakibatkan para ilmuwan menolak teori yang semula di terima, karena berdasarkan pada perbandingan teori dengan dunia. Menolak paradigma sekaligus merupakan putusan untuk menerima yang lain dan pertimbangan yang mengakibatkan putusan itu melibatkan perbandingan paradigma dengan alam ataupun satu sama yang lain. Dan alasan yang kedua, untuk meragukan bahwa para ilmuwan menolak paradigma karena dihadapkan pada anomali-anomali atau penggantinya. Alasan bagi keraguan semata-mata faktual, artinya alasan itu sendiri menggantikan teori epistemologi yang berlaku dan hal ini dapat menciptakan krisis atau memperkuat krisis yang benar-benar sudah ada.

E. Sifat, Perlunya Revolusi dan Dampak Sains
Revolusi sains sebagai epesode perkembangan nonkomulatif yang di dalamnya paradigma yang lama di ganti seluruhnya (sebagian oleh paradigma baru yang bertentangan). Revolusi politik di bawa oleh kesadaran yang semakin tumbuh, yang sering terbatas pada suatu segmen dari masyarakat politik, bahwa lembaga-lembaga yang tidak lagi memadai untuk menghadapi masala-masalah yang di kemukakan oleh lingkungan yang sebagian di ciptakan oleh lembaga-lembaga itu. revolusi sains di bawa oleh kesadaran yang semakin tumbuh yang sering terbatas pada subdevisi yang sempit dari masyarakat sains, bahwa paradigma yang ada tidak lagi berfungsi secara memadai dalam eksplorasi suatu aspek dari alam.
Perkembangan politik maupun sains, kesadaran akan adanya fungsi yang dapat menyebabkan krisis merupakan prasyarat bagi revolusi.

Revolusi politik bertujuan mengubah lembaga-lembaga politik itu sendiri. oleh sebab itu, keberhasilannya memerlukan pelepasan sebagian dari perangkat lembaga untuk di ganti oleh yang lain, dan masyarakat tidak sepenuhnya di perintah oleh lembaga tersebut. Mula-mula hanya krisis yang mengurangi lembaga politik, seperti menurunnya peran paradigma. Hal ini bertujuan berdemonstrasikan bahwa study historis tentang perubahan paradigma menyingkap karakteristik yang mirip dalam evolusi sains. Seperti pemulihan diantara lembaga-lembaga politik yang berkompetisi, pemilihan diantara pemerintah paradigma yang bersaingan ternyata merupakan pemilihan diantara modus-modus kehidupan masyarakat yang bertentanan. Karena yang memiliki karakter itu, pemilihannya tidak tidak dapat di tentukan dengan prosedur evaluatif yan menjadi karakteristik yang normal, sebab tergantung pada paradigma tertentu dan paradigma itu sedang di permasalahkan sebagaimana mestinya. Masuk pada debat paradigma maka perannya perlu sekuler untuk membela paradigma itu, sekuleritas yang dilibatkan itu menyebabkan argumen-argumen salah bahkan tidak berpengaruh.


F. Tak Tampaknya Revolusi dan Pemecahannya
Tentu saja para ilmuan bukan satu-satunya kelompok yang melihat masalah disekelilingnya berkembang terus kearah keadaan sekarang yang menguntungkan. Motivasi untuk menulis sejarah kebelakang itu terdapat dimana-mana dan kekal. Akan tetapi, para ilmuan lebih terpengaruh oleh godaan untuk menulis. Mengulang sejarah karena hasil riset sains tidak menunjukkan kebergantungan yang nyata pada konteks historis dari ingkuiri, kecuali pada krisis dan revolusi karena kedudukan kontenporen ilmuan tampaknya begitu kokoh. Penurunan nilai kenyataan sejarah secara mendalam, fungsional, berakal dalam ideologi sains dan profesi yang sama yang memberikan nilai tertinggi pada rincian kenyataan jenis yang lain. Jiwa yang tidak historis pada masyarakat sains ketika ia mengatakan, rugilah sains yang buruk melupakan pendiriannya, namun ia tidak sepenuhnya benar karena sains kegiatan profesional lainmasih membutuhkan pahlawan sendiri serta melestarikan nama-nama mereka.
Hasilnya adalah kecenderungan yang terus-menerus membuat sejarah sains tampil lurus atau komulativ, bahkan mempengaruhi para ilmuan yang melihat kebelakang pada riset mereka sendiri.Sebenarnya masalah itu tampaknya tefikirkan oleh kebersamaan dan tata cara pemecahannya tampak tidak terfikirkan karya kreatifnya sendiri tidak terselesaikan. Hasilnya adalah reorientasi kearah bidang baru yang mengajari para ahli untuk menyajikan pertanyaan dan mengambil kesimpulan dari data-data lama.
Merekalah yang mula-mula belajar melihat sains dan dunia dengan cara yang berbeda dan kemampuan mereka untuk membuat transisi itu dimudahkan oleh keadaan yang tidak bisa anggota lain andil dalam proesinya.Tampak berubah degan sungguh-sungguh difokuskan pada masalah-masalah yang merangsang krisis dan kecenderungannya orang yang berbeda serta kemampuan untuk membuat transisi dimudahkan oleh dua keadaan yang diluar keadaan yang diluar kebiasaan bagi kebanyakan anggota lain dari profesinya. Biasanya mereka relatif muda atau baru dlam bidang yang dilanda krisis praktek dan kurang mendalam pandangannya pada dunia dan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh paradigma lama. Pekerjaan riset adalah pemecah teka-teki bukan untuk menguji paradigma. Sains berbeda dengan teka-teki dalam pemecahannya, situasi pengujian tidak pernah terjadi semata-mata karena perbandingan suatu paradigma dan alam akan tetapi terjadi karena adanya konpetesi diantara dua paradigma untuk memperebutkan dalam masyarakat sains.
Perubahan-perubahan paradigma menyebabkan para ilmuan berbeda dalam memandang dua riset. Salah satu jalan mereka kejalan itu melalui apayang mereka lihat.Prototipe-prototipe transformasi dunia ilmuan yang elementer seperti inilah yang menyebabkan demonstrasi perubahan dalam gestan visual yang dikenal sugestik. Setelah transformasi, meskipun biasanya bertahap dan hampir semuanya tidak dapat dibalikkan, nampak hal yang umum menyertai latihan sains. Eksprimen-eksprimen gestalt menggambarkan sifat transformasi persepsi tidak harus menerangkan peran paradigma atau eksprimen yang sebeumnya diasimilasikan dalam proses persepsi. Akan tetapi, hal itu terdapat kumpulan pustaka dan psikologi yang kaya.Subyek eksprimen yang mengen akan kaca mata yang dilengkapi lensa pembalik, mula-mula melihat dunia terbalik keatas atau bahkan pada permulaanya berfungsi seperti fungsi yang lebih dilatihkan tampa kaca mata yang akibatnya disorientasi yang ekstrim krisis personal yang gawat.
G. Kemajuan Revolusi Dan Pasca Wacana –1969
Selama periode paradigma, banyak aliran yang bersaingan, bukti kemajuan, kecuali didalam aliran-aliran sangat sukar ditemukan. Dalam periode revolusi ketika prinsip fundamental suatu bidang dipermasalahkan, keraguan tentang kemungkinan sinambungnya kemajuan diantara paradigma yang menentang ada yang diterima. Implikasinya, kemajuan itu hanya tampak nyata serta pasti dalam periode sains yang normal. Namun, selama periode itu masyarakat sains tidak dapat memandang buah karyanya dengan cara yang lain. Jika hanya kewenangan, dan khususnya jika kewenangan nonprofesional yang menjadi wasit dalam perdebatan paradigma maka hasil perdebatan itu bisa tetap revolusi tetapi bukan revolusi sains. Dasar eksistensi sains bergantung pada pemberian kekuasaan untuk memilih paradigma didalam anggota-anggota masyarakat jenis khususnya.
Setidak-tidaknya secara filosofis, arti kedua dari paradigma merupakan sumber utama berbagai kontaversi dan kesalapahaman. Yang pertama berargumentasi bahwa, istilah seperti subyektif dan naluriah tidak tepat di terapkan pada komponen-komponen pengetahuan. Walaupun pengetahuan seperti itu, tanpa perubahan yang esensial, bukan subyek bagi parafrase dari segi kaidah dan kreteria, walaupun ia sistematis. Dalam kesimpulan yang lain mendesak agar orang-orang yang mempertahankan pandangan yang tidak dapat dibandingkan dianggap sebagai anggota-anggota masyarakat bahasa yang berbeda.
Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota seluruh masyarakat sains dan sebaliknya, masyarakat sains terdiri atas orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama. Masyarakat sains dapat dan seharusnya diisolasi tanpa terlebih dahulu minta bantuan kepada paradigma; kemudian dapat ditemukan dengan meneliti perilaku anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan. Anggota semua masyarakat sains termasuk aliran-aliran dari periode praparadigma, memiliki jenis-jenis unsur yan secara kolektif yang berlebel “suatu paradigma”. Anggota-anggota masyarakat yang berbeda kadang-kadang memilih alat yang berbeda dan mengkritik pilihan orang lain. Dan revolusi adalah jenis khusus perubahan yang melibatkan jenis tertentu rekontruksi komitment-komitment kelompok (paradigma dan struktur masyarakat). Dan masih banyak karakteristik-karakteristik secara esensial seperti paradigma sebagai konstelasi kometmen kelompok, paradigma dan contoh bersama, pengetahuan diam-diam dan naluri, eksemplar, kemustahilan dengan revolusi, revolusi dan relativisme dan sifat sains.


Paradigma adalah sistem nilai yang menyusun sebuah pandangan terhadap sesuatu. Paradigma ilmu pengetahuan berarti sistem nilai dalam memandang ilmu pengetahuan itu sendiri. Apa yang kita pahami sebagai ilmu pengetahuan hari ini, adalah sebuah hasil dari proses rumit yang melibatkan sekian banyak gagasan yang berpadu membentuk sistem yang kompleks. Sebagai sebuah sistem, tentu paradigma tidak lahir secara instan. Akan tetapi, paradigma ilmu pengetahuan modern lahir dari beberapa hal yang melandasinya. 
Tulisan ini dimaksudkan untuk meringkas proses terbentuknya paradigma ilmu pengetahuan modern dan beberapa gagasan penting yang melandasinya. Ptolomeus, seorang filsuf Yunani merumuskan konsep Geosentris. Sebuah konsep yang menyatakan bahwa Bumi adalah pusat alam semesta. Dilandasi dengan argumen bahwa matahari dan planet muncul disebelah timur dan tenggelam disebelah barat. Kesan bahwa matahari dan planet berputar mengelilingi bumi inilah dasar bahwa bumi adalah pusat alam semesta.


Gagasan ini bertahan hingga ribuan tahun dan didukung oleh gereja, pemegang otoritas kebenaran di abad pertengahan.

Hingga kemudian ditahun 1543 Nicolas Copernicus, seorang astronom merumuskan "hipotesa" tentangHeliosentris, bahwa mataharilah pusat alam semesta. Bahwa bumi beserta planet mengelilingi matahari. Penemuan Copernicus tentu sangat beresiko terhadap keselamatannya, hingga Copernicus hanya berani merilis sebuah hipotesa. Mungkin kebetulan, Copernicus meninggal ditahun yang sama dengan tahun ia merilis hipotesa yang menggegerkan dunia ilmu pengetahuan di zamannya. Sadar atau tidak, Copernicus telah membuka babak baru perkembangan ilmu pengetahuan, setelah era Thomas Aquinas yang mencoba memadukan pandangan aristotelian dengan konsepsi teologi gereja.



Johannes Keppler, seorang astronom dengan matematikanya berhasil menemukan lintasan planet yang berbentuk elips, bukan lingkaran. Sehingga Keppler mempertegas "hipotesa" Copernicus. Sementara, dengan temuan teleskop terbarunya, Galileo menemukan tentang pergerakan bintang-bintang. Galileo berpendapat bahwa, semesta ini adalah bahasa universal yang dapat dipahami dengan matematika. Galileo membatasi keilmiahan pada sesuatu yang dapat dihitung dan terukur. Sehingga hal-hal yang bersifat kualitatif seperti warna, rasa, dan bau "dijauhkan" dari ranah ilmu pengetahuan. Pilar kuantifikasi ilmu pengetahuan telah terpancang kuat oleh Galileo.



Sementara di Inggris, seorang matematikawan yakni Francis Bacon merumuskan metode ilmu empiris. Ia merumuskan prosedur induktif dengan sangat jelas. Bacon menyerang dengan tegas filsafat tradisional yang mengedepankan kearifan sebagai tujuan ilmu. Bacon dengan percobaan ilmiahnya melahirkan semangat baru dalam ilmu pengetahuan.



Semangat baru itu adalah semangat untuk menaklukkan alam. Ilmu pengetahuan kemudian diarahkan agar dapat menguasai dan mengendalikan alam. Hingga pada titik ini, perlahan ilmu pengetahuan menjadi alat bagi manusia untuk menunjukkan keserakahannya dan nantinya akan berdampak terhadap keseimbangan alam seperti saat ini.




 Mungkin anda pernah mendengar kalimat "Cogito Ergo Sum"yang berarti "aku berpikir maka aku ada". Saat Descartes mendapat pencerahan dalam sebuah perenungannya ia menemukan eksistensi kediriannya.


Rene Descartes, dianggap sebagai pendiri filsafat modern. Selain itu, Descartes juga adalah seorang ahli matematika.



PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN (EPISTEMOLOGI)

Pengertian Paradigma
Paradigma dalam bahasa Inggris disebut paradigm dan bahasa Perancis paradigme, ia berasal dari bahasa Latin ”para” dan deigma”. Para berarti di sisi, di samping dan deigma berarti contoh, pola, model. Sedangkan deigma dalam bentuk kata kerja deiknynai berarti menunjukkan atau mempertunjukkan sesuatu. Dengan begitu, secara epistimologis, paradigma berarti disisi model, disamping pola atau disisi contoh. Paradigma berarti pula sesuatu yang menampakkan pola, model atau contoh. Paradigma juga sinonim dengan guiding principle, basic point of view atau dasar perspektif ilmu, gugusan pikir, model, pola, kadang ada pula yang menyebutnya konteks. Secara terminologi, paradigma berarti jalinan ide dasar beserta asumsi dengan variabel-variabel idenya (Zumri, 2009:12)
Istilah paradigm pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun (1962) dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Paradigma menurut Thomas S. Kuhn (dalam Surajiyo, 2007) adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoretis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi suatu sumber hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Scott mengartikan paradigma Kuhn sebagai :
a.   an achievement, a new, accepted way of solving a problem which then is used as a model of future work;
b.   a set of  shared values, the methods, standard and generalizations shared by those trained to carry on the scientific work modeled on that paradigm.
Pengertian yang dintroduksi oleh Scott ini mengandung beberapa aspek penekanan yaitu bahwa paradigma merupakan, pertama, sebagai pencapaian yang baru, yang kemudian diterima sebagai cara untuk memecahkan masalah, dan pola pemecahan masalah masa depan. Hal menarik dari pengertian ini adalah bahwa paradigma adalah cara pemecahan masalah yang seharusnya memiliki daya prediksi masa depan. Kedua, sebagai kesatuan nilai, metode, ukuran dan pandangan umum yang oleh kalangan ilmuwan tertentu digunakan sebagai cara kerja ilmiah pada paradigma itu. (Sofian Effendi, 1988:188)
Mastermann (dalam George Ritzer, 1980:5) mengemukakan tiga tipe pengertian paradigma Kuhn, yang menurutnya mengandung pengertian. Pertama, Paradigma metafisik, kedua, paradigma sosiologi, ketiga, paradigma konstrak. Paradigma metafisik memerankan tiga fungsi, yaitu yang menunjuk pada suatu komunitas ilmuwan tertentu yang :
1.    memusatkan perhatian pada sesuatu yang ada dan yang tidak ada;
2.    memusatkan perhatian pada usaha penemuan tema sentral dari sesuatu yang ada;
3.    berharap menemukan sesuatu yang sungguh-sungguh ada.
Paradigma ini merupakan konsensus terluas dalam suatu bidang ilmu tertentu. Paradigma sosiologi, oleh Mastermann dipandang memiliki konsep yang sama dengan Thomas Kuhn, yaitu bertolak dari kebiasaan nyata, keputusan gagasan yang diterima, hasil nyata perkembangan ilmu pengetahuan, serta hasil perkembangan ilmu pengetahuan yang diterima secara umum.
Sedangkan Paradigma Konstrak, yaitu konsep paradigma yang paling sempit dan nyata, dibanding ketiga konsep di atas. Misalnya, peranan paradigma dalam pembangunan reaktor nuklir. Pandangan-pandangan diatas tampak belum mampu menjelaskan konsep paradigma.
Robert Friedrichs (dalam George Ritzer, 1980:7) mencoba mengatasi masalah ini dengan mengajukan rumusan pengertian sebagai berikut:
Paradigma adalah pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu     tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya    dipelajarinya (a fundamental image a dicipline has of its subject matter).
Dengan maksud lebih memperjelas lagi, George Ritzer mencoba mensistesiskan pengertian yang dikemukakan oleh Kuhn, Mastermann danFriedrich, dengan pengertian paradigma sebagai berikut:
Pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (diciplin)
.           Bertolak dari berbagai pengertian yang telah dikemukakan di atas, pengertian paradigma oleh mereka tampaknya diberatkan pada beberapa unsur, yaitu :
1.   Sebagai pandangan mendasar sekelompok ilmuwan;
2.   objek ilmu pengetahuan yang seharusnya dipelajari oleh suatu displin; dan
3.   metode kerja ilmiah yang digunakan untuk mempelajari objek itu.
Pengembangan ini tampaknya akan membawa persoalan tersendiri bagi pengertian paradigma. Usaha-usaha pemberian pengertian dengan dasar kepentingan individual dari masing-masing disiplin dapat mengakibatkan timbulnya satu dampak yang bersifat ganda, yaitu pertama, menjadi jelasnya makna paradigma bagi kepentingan masing-masing disiplin yang menjelaskannya. Kedua, mengaburnya makna esensial paradigma, dari hakikat dasar pengertiannya sebagaimana pada mulanya diintroduksi oleh Kuhn.
Untuk memulihkan kekaburan yang mungkin timbul dari pengertian-pengertian itu, maka berikut diangkat suatu suatu sintesis dari beberapa pengguna istilah paradigma yang digunakan oleh Kuhn dalam introduksi gagasannya. Pertama, dalam The Structure of Scientific Revolution, pada prinsipnya Kuh membahas masalah perkembangan ilmu pengetahuan yang menurutnya bersifat revolusioner. Kedua, apa yang menjadi pusat penyelidikannya dalam usaha membuktikan tesisnya tentang perkembangan itu adalah paradigma. Ketiga, paradigma yang dimaksud oleh suatu kesatuan gagasan yang diterima secara komitmen oleh suatu kesatuan masyarakat ilmuwan, dalam suatu kurun waktu tertentu. Keempat, oleh akibat munculnya gejala-gejala baru, paradigma lama ini akan jatuh kedalam beberapa tahapan proses perkembangan, yaitu anomali, krisis, menjatuhkan (revolusi), dan akhirnya munculnya gagasan baru yang menggantikan kedudukan paradigma lama.

Shifting of Paradigm
Shifting Paradigms adalah istilah yang cocok untuk menggambarkan terjadinya dimensi kreatif pikiran manusia dalam bingkai kefilsafatan. Shifting Paradigms merupakan letupan ide yang merangsang timbulnya letupan ide-ide yang lain, yang terjadi terus-menerus, sambung menyambung, baik pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Reaksi berantai ini pada akhirnya menjadi kekuatan yang bisa merubah wajah dan tatanan dunia serta peradaban manusia ke arah suatu “kemajuan”. Shifting Paradigm Khun dan para filsuf lainnya telah membuktikan adanya kemajuan dalam ilmu pengetahuan (epistemologi).
Thomas Kuhn telah menggunakan sejarah sebagai dasar untuk menyusun gagasan paradigmanya. Sejarah telah membantunya untuk menemukan konstelasi fakta, teori, dan metode-metode yang tersimpan di dalam buku-buku teks sains. Dengan jalan begitu, Kuhn menemukan suatu proses perkembangan teori yang kemudian disebutnya sebagai proses perkembangan paradigma yang bersifat revolusioner. Inilah rangkaianshifting paradigma Khun:
P1 – Ns – A – C – R – P2
P1 = adalah suatu simbol dari suatu paradigma yang telah ada dalam suatu masyarakat sains. Paradigma ini sedemikian eksisnya dalam kehidupan suatu masyarakat sains, sehingga ia menjadi suatu paradigma yang membatasi kepercayaan dan usaha-usaha untuk mencari dan menemukan alternatif-alternatif baru yang dapat menggantinya. Salah satu sebabnya adalah karena kapasitas paradigma itu untuk mengantisipasi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat itu.
Ns = merupakan simbol dari pengertian ”Normal Science” atau sains yang normal. Sains yang normal adalah periode akumulasi ilmu pengetahuan, di mana ilmuwan-ilmuwan berorientasi dan memegang teguh paradigma pendahulunya itu (P1). Sains yang normal adalah riset yang memegang teguh pencapaian-pencapaian ilmiah yang mendahuluinya, yaitu pencapaian yang oleh suatu masyarakat ilmiah dipandang sebagai dasar fundamental bagi pengembangan riset selanjutnya. Sains yang normal dapat menjelaskan arti paradigma. Dalam konteks ini, paradigma adalah model atau pola yang diterima oleh suatu masyarakat sains tertentu. Sains yang normal merupakan usaha untuk mewujudkan janji melalui perluasan pengetahuan dan fakta-fakta, dengan menaikkan tingkat kecocokan antara fakta-fakta yang diperoleh dengan prakiraan yang terkandung di dalam paradigma pengetahuannya (P1). Operasi sains yang normal merupakan kerja untuk menyelesaikan karya-karya yang tertinggal dan belum tuntas. Sehingga sains yang normal ditunjukkan untuk artikulasi gejala-gejala dan teori-teori yang telah disajikan oleh paradigma pendahulunya itu. Maka sains atau riset yang normal adalah riset yang didasarkan pada paradigma yang telah ada. Sains yang normal, sering menekan hal-hal baru yang fundamental, karena hal-hal baru yang fundamental itu akan meruntuhkan paradigma pendahulunya (P1). Paradigma sesungguhnya merupakan komitmen-komitmen mendasar yang dipegang teguh oleh suatu masyarakat sains.
Keadaan ini tidak akan dapat bertahan secara terus-menerus. Gejala-gejala baru yang tumbuh dan berkembang sebagai gejala alamiah, senantiasa akan menjadi sebab yang menantang untuk meruntuhkan paradigma itu. Gejala-gejala itu merupakan sebab dibutuhkannya penjelajahan-penjelajahan baru yang dapat menanggapi gejala-gejala itu. Jika telah sampai pada periode ini, maka suatu proses perkembangan sains segera berada pada periode anomali.
A= merupakan simbol dari pengertian anomali. Anomali adalah periode pertentangan antara kelompok ilmuwan yang memegang teguh pencapaian-pencapaian lama (P2) dengan ilmuwan-ilmuwan yang menanggapi kehadiran gejala-gejala baru itu, dan karenanya mereka menghendaki perubahan-perubahan dan perkembangan komitmen-komitmen baru, yang dapat digunakan untuk menjawab tantangan-tantangan baru dari gejala itu. Sebab utama kehadiran periode ini adalah gagalnya paradigma lama (P1) untuk memecahkan masalah-masalah baru yang hadir bersama gejala-gejala baru. Jika pertentangan ini memuncak, maka proses perkembangan sains segera memasuki periode terbarunya, yaitu periode krisis.
C= merupakan simbol dari pengertian krisis, yaitu suatu periode perkembangan sains yang menunjuk pada kondisi pertentangan antara penganut paradigma lama (P1) dengan kelompok yang menghendaki perubahan terhadap paradigma lama. Pada periode ini biasanya muncul gagasan-gagasan baru yang mengguncangkan eksistensi paradigma lama yang pada gilirannya akan menjadi sebab semakin memuncaknya pertentangan itu. Meningkatnya pertentangan ini hanya mungkin jika dipenuhi suatu kondisi, yaitu adaptifnya gagasan-gagasan baru terhadap gejala-gejala yang berkembang. Krisis ini akan diakhiri oleh munculnya teori baru yang ditandai oleh suatu proses penggantian kedudukan yang radikal, yaitu revolusi sains.
R = merupakan simbol dari pengertian revolusi sains, yaitu periode munculnya teori baru yang secara radikal menggantikan teori lama. Revolusi sains dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh yang ditandai oleh pandangan subdivisi masyarakat sains yang cenderung bersifat sempit, yaitu tidak difungsinya lagi paradigma lama. Karenanya paradigma lama harus digantikan oleh paradigma baru. Bertolak dari dasar proses ini maka lahirlah paradigma baru (P2).
P2 = merupakan simbol dari pengertian Paradigma baru, yaitu paradigma hasil revolusi sains yang menggantikan kedudukan paradigma lama (P1). Berdasarkan karakter proses ini maka ciri untuk menentukan standar revolusi sains adalah ada atau tidaknya penerobosan terhadap suatu komitmen sains yang normal. Ciri lainnya adalah ada tidaknya anomali, krisis dan akhirnya pergantian kedudukan terhadap suatu teori lama. Menurut Kuhn, revolusi sains tidak selalu merupakan gejala eksplisit yang tegas. Sering ia merupakan suatu proses implisit dari perubahan unsur-unsur penting dari suatu formula. Karenanya hanya buku-buku sainslah yang menjelaskan revolusi itu, yaitu dengan melihat formulasi paradigma sebelum perubahan, dan buku-buku yang mengandung uraian tentang itu pada pasca revolusi. (Lili Rasjidi & I.B.Wyasa Putra, 1993:68-69)
Aliran Rasionalisme
1   Pengertian Aliran Rasionalisme
Secara Etimologi, Rasionalisme merupakan golongan dari dua kata yaitu: rasio yang artinya akal, dan isme yang berarti faham atau aliran. Dengan demikian, Rasionalisme merupakan sebuah faham yang menekankan pada potensi akal.
Adapun definisi Rasionalisme apabila ditinjau dari Terminologi filsafat ialah: Faham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Menurut aliran Rasionalis, suatu pengetahuan akan diperoleh dengan cara berfikir.
Dengan demikian, Rasionalisme merupakan aliran filsafat yang memposisikan akal sebagai sumber pengetahuan dan salah satu metode untuk mendapatkan pengetahuan. Disamping itu, akal atau rasio merupakan anugerah Tuhan yang diberikan kepada setiap umat manusia. Akibatnya, rasio mampu mencari kebenaran dengan cara berfikir dan tidak mungkin salah.
Tokoh-tokoh Aliran Rasionalisme, Metode, Konsep Pemikiran dan Perkembangannya.
a.    Rene Descartes (1596-1650 M)
Rene Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine, Perancis tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit di La Fleche. Rene Descartes dikenal dengan bapak Rasionalisme. Hal ini dikarenakan Rene Descartes orang pertama yang mempelopori tentang aliran Rasionalisme disamping juga karena pernyataan-pernyataan Rene Descartes yang selalu mengedepankan potensi akal untuk mendapat ilmu pengetahuan dan kebenaran. Ungkapan-ungkapan yang sering disampaikan Rene Descartes tersebut ialah: “cogito ergo sum” yang berarti saya berfikir, maka saya ada.
Meskipun demikian dia tidak mengingkari pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman. Hanya saja pengalaman  dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.
Kemudian Descartes menolak untuk bergantung pada pendapat umum yang berkembang dalam masyarakat dalam melandaskan pemikirannya. Karena itu ia menolak seluruh hal kecuali kepastian dari pendapatnya sendiri. Sebagaimana yang diungkapkannya dalam buku Filsafat untuk umum karya Bambang Q. Anees dan Radea Juli A. Hambali,
“Andaikata Kita membaca setiap karangan Plato dan Aristoteles, namun tanpa kepastian sendiri, kita tidak maju satu langkah pun dalam filsfat…….Pengertian historis kita lalu ditambah, namun bukan pemahaman kita.
Dalam membangun filsafatnya Descartes membuat pertanyaan-pertanyaan sebagai patokan dalam menentukan kebenaran dan keluar dari keraguan yang ada. Adapun persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Descartes untuk membangun filsafat baru antara lain:
a.      Apakah kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
b.      Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
c.       Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
d.      Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Descartes menawarka metode-metode untuk menjawabnya. Yang mana metode-metode tersebut harus dipegang untuk sampai pada pengetahuan yang benar:
1.            Seorang filosuf harus hanya menerima suatu pengetahuan yang terang dan jelas.
2.            Mengurai suatu masalah menjadi bagian-bagian kecil sesuai dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika masalah itu masih berupa pernyataan: maka pernyataan tersebut harus diurai menjadi pernyataan-pernyataan yang sederhana. Metode yang kedua ini disebut sebagai pola analisis.
3.            Jika kita menemukan suatu gagasan sederhana yang kita anggapClear and Distinct, kita harus merangkainya untuk menemukan kemungkinan luas dari gagasan tersebut.  Metode yang ketiga ini disebut dengan pola kerja sintesa atau perangkaian.
4.            Pada metode yang keempat dilakukan pemeriksaan kembali terhadap pengetahuan yang telah diperoleh, agar dapat dibuktikan secara pasti bahwa pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang Clear and Distinct yang benar-benar tak memuat satu keraguan pun. Metode yang keempat ini disebut dengan verifikasi.
Jadi dengan keempat metode tersebut Descartes mengungkap kebenaran dan membangun filsafatnya untuk keluar dari keraguan bersyarat yang diperoleh dari pengalaman inderawinya.
b.    De Spinoza (1632-1677 M)
De Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 M dan meninggal dunia pada tahun 1677 M. Nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah mengucilkan diri dari agama yahudi, ia mengubah nama menjadi Benedictus De Spinoza. Ia hidup di pinggiran kota Amsterdam. De Spinoza maupun Liebniz mengikuti pemikiran Rene Descartes. Dua tokoh terakhir ini juga menjadikan subtansi sebagai tema pokok dalam metafisika mereka, dan mereka berdua mengikuti aliran Rene Descartes. Tiga filosof ini, Rene Descartes, De Spinoza, Liebnis biasanya dikelompokkan pada satu aliran yaitu Rasionalisme.
De Spinoza menjawab pertanyaan dengan pendekatan yang juga dilakukan sebelumnya oleh Rene Descartes, yaitu dengan pendekatan deduksi matematis yang dimulai dengan meletakkan definisi, aksioma, proposisi, kemudian baru pembuktian (penyimpulan). De Spinoza memiliki pemikiran yang sama dengan Rene Descartes, ia mengatakan bahwa kebenaran itu tepusat pada pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa sedang keluasan adalah tubuh yang eksistensinya berbarengan. (Fuad Ihsan, 2010:153)
c. Liebniz (1646-1716 M)
Seorang filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarawan. Lama menjadi pegawai pemerintah, menjadi atase, membantu pejabat tinggi Negara pusat. Dialah Gottfried Eilhelm Von Liebniz yang dilahirkan pada tahun 1646 M dan meninggal pada tahun 1716 M. Metafisikanya adalah ide tentang subtansi yang dikembangkan dalam konsep monad.
Metafisika Liebniz sama-sama memusatkan perhatian pada subtansi. Bagi De Spinoza alam semesta ini, mekanisme dan keseluruhannya, bergantung kepada sebab, sementara subtansi menurut Liebniz ialah prinsip akal yang mencukupi yang secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan Tuhan harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakannya. Kita lihat bahwa hanya ada satu subtansi, sedangkan Liebniz berpendapat bahwa subtansi itu banyak. Ia menyebut subtansi-subtansi itu monad. Setiap monad berbeda antara yang satu denga yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tida tercipta) adalah pencipta monad-monad itu. Karya Liebniz tentang ini diberi judul monodology (studi tentang monad) yang diulis pada tahun 1417 H. ini adalah singkatan metafisika Liebniz. (Fuad Ihsan, 2010:154) 
Metode pengetahuan rasio Islam Klasik
Ada tiga metode dominan yang menunjang optimalisasi rasio sebagai cara perolehan dan pengembangan pengetahuan:
1.    Hapalan (memory/ al-hifz).
2.    Mudzakarah.
3.    Munadzarah.
Mudzakarah adalah metode belajar dengan cara memperlihatkan hasil hafalan di hadapan para peserta didik. Sedangkan Munadzarah adalah metode debat (disputation), yang berfungsi sebagai teknik pencarian kebenaran. (Musnur Hery, 2009:157)

Harista. Eva. 2013. Paradigma Ilmu Pengetahan (Epistemologi)Online : http://eva-harista.blogspot.com/2011/12/paradigma-ilmu-pengetahuan-epistemologi.html. Diakses Tanggal 19 Desember 2013, Pukul 19.00 Wita
Pramutoko. Bayu, 2013. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. Online : http://bayu96ekonomos.wordpress.com/artikel-artikel/peran-paradigma-dalam-revolusi-sains/. Diakses Tanggal 19 Desember 2013, Pukul 19.02 Wita.


Basir. La Ode, 2013. Pern Paradigma dalam Revolusi Sains. Online : http://katalisperubahan.blogspot.com/2011/05/peran-paradigma-dalam-revolusi-sains.html. Diakses Tanggal 19 Desember 2013, Pukul 19.07 Wita.